Pendidikan merupakan salah satu pondasi penting untuk menciptakan bangsa yang kuat dan bermartabat. Pada era penjajahan, pendidikan memiliki andil besar dalam perjuangan rakyat Nusantara dalam meraih kemerdekaannya. Melalui pendidikan, ide-ide mengenai persatuan dan nasionalisme dapat ditanamkan kepada setiap individu. Hal tersebut juga menjadi pemikiran dari salah satu Pahlawan Nasional Indonesia Dokter Wahidin Soedirohoesodo. Ia menganggap pendidikan merupakan jalur yang paling ampuh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta menanamkan rasa nasionalisme kepada seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai seorang anak desa yang mendapat peluang belajar hingga ke sekolah tinggi, Dokter Wahidin memiliki perhatian yang besar terhadap mutu pendidikan di Tanah Air. Ia melihat pada saat itu kondisi pendidikan sangat menyedihkan sehingga perlu diperjuangkan agar masyarakat menjadi lebih pandai. Dokter Wahidin menganggap bahwa pendidikan merupakan sarana yang penting dalam memajukan suatu bangsa dan umat manusia secara menyeluruh.
Dokter Wahidin mulai menyuarakan pentingnya pendidikan melalui tulisan di surat kabar Retno Dhoemilah. Melalui surat kabar inilah Dokter Wahidin mencurahkan ide-idenya untuk memberikan pengetahuan yang berharga kepada masyarakat. Ia tidak jemu-jemunya menyadarkan pembaca akan pentingnya pendidikan dan semangat nasionalisme.
Ketika Wahidin naik jabatan sebagai pemimpin redaksi Retno Dhoemilah, arah konten surat kabar tersebut menjadi lebih bernuansa perjuangan. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya tambahan sajian berita politik luar negeri tentang perjuangan suatu bangsa. Di antaranya, Pemberontakan Boxer di Cina menghadapi kekuasaan asing (1889-1901) serta berita mengenai Perang Boer II di Afrika Selatan (1899-1902).
Tidak berhenti sampai di sana, perjuangan Dokter Wahidin dalam dunia pendidikan berlanjut dengan berkeliling Pulau Jawa untuk bertemu dan berdiskusi dengan para tokoh bupati dan priyayi. Hal ini dilakukan demi membentuk lembaga beasiswa (studiefonds) yang diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu agar bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
Perjuangan Dokter Wahidin tidak berjalan dengan mudah. Berbagai kendala muncul dari pemerintah Kolonial Belanda. Mereka melihat gerakan pendidikan Dokter Wahidin sebagai aktivitas yang berbahaya. Pemerintah Kolonial Belanda berpikir jika masyarakat Nusantara menjadi pintar dan bersatu sebagai sebuah bangsa, kelak mereka akan melakukan perlawanan terhadap Belanda yang notabene merupakan penjajah di Tanah Air.
Halangan terkadang juga muncul dari kalangan priyayi. Sebagian dari mereka melihat perjuangan Dokter Wahidin sebagai ancaman. Mereka takut jika rakyat kecil menjadi pandai, suatu saat anak-anak orang miskin itu akan menjadi saingan para priyayi. Mereka takut kedudukannya tergantikan oleh rakyat kecil.
Pada akhirnya, mimpi mendirikan lembaga beasiswa (studiefonds) terwujud saat Wahidin bergabung dengan organisasi Budi Utomo, tentunya dengan bantuan tokoh-tokoh lain di organisasi tersebut seperti Dokter Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Soeradji Tirtonegoro. Budi Utomo berhasil mendirikan studiefonds “Darmawara” pada 25 Oktober 1913 dan hal tersebut membuat Wahidin kegirangan.
“Pada waktu sekarang ini, sudah datang saatnya bibit-bitit yang saya sebar bertahun-tahun lamanya itu tumbuh. Apabila studiefonds Darmawara ini sudah dapat berdiri dengan baik maka apabila sewaktu-waktu saya mati, saya sudah merasa puas, ikhlas, senang, dan bahagia, ” ujar Wahidin.
Beberapa pencapaian yang diperoleh Darmawara di antaranya berhasil menyekolahkan anak-anak pandai dari kalangan kurang mampu. Anak-anak tersebut disekolahkan di Negeri Belanda melalui bantuan dari Pemerintah Hindia Belanda sebesar 50.000 gulden. Setelah tamat sekolah dan kembali ke tanah air, diharapkan anak-anak tersebut dapat berkontribusi besar bagi kampung halamannya.
Darmawara juga mendapatkan dukungan dari Kesultanan Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwana VII (memerintah 1877-1920) memberikan bantuan sebidang tanah seharga 100.000 gulden dan uang sebesar 45.000 gulden. Bantuan itu kemudian digunakan untuk mendirikan tiga sekolah yang dinamakan Sekolah Netral. Dua sekolah dibangun di Yogyakarta dan satu di wilayah Surakarta.
Sobat SMP, itulah perjuangan Dokter Wahidin Soedirohoesodo dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan di Tanah Air. Berkat jasanya, ia dianggap sebagai salah satu tokoh pergerakan nasional sehingga pada 6 November 1973, Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Dokter Wahidin Soedirohoesodo, sekitar 56 tahun sejak ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 Mei 1917. Semoga keuletan dan ketabahannya bisa menjadi inspirasi bagi Sobat SMP semua sehingga di masa depan bisa muncul tokoh-tokoh lain yang memiliki semangat juang seperti Dokter Wahidin Soedirohoesodo.
Sumber : https://ditsmp.kemdikbud.go.id/perjuangan-dokter-wahidin-soedirohoesodo-mencerdaskan-kehidupan-bangsa-melalui-pendidikan/